Menuju Titik Nol
"Jagalah hati, jangan kau nodai, jagalah hati  lentera hidup ini. "
-- KH. Abdullah Gymnastiar, pendakwah dan  penyanyi
BERITA ini sungguh mengejutkan. Seorang teman mengabarkan  ayahnya 
terserang stroke. Mengejutkan, karena dia seorang dokter, yang  
tentunya paham dengan kesehatan. Pengalaman dan pengetahuan, dia  
ngelotok betul soal `do and don't' dalam segala hal yang terkait 
soal  kesehatan. Lain dari itu, dia memiliki gaya hidup yang 
sederhana. Namun, apa  mau dikata, Pak Dokter ini terserang stroke.
Stroke adalah tersumbatnya  aliran darah secara akut alias mendadak, 
biasanya disebabkan gumpalan darah.  Stroke merupakan penyebab 
kematian nomor tiga, setelah penyakit jantung dan  kanker, namun 
merupakan penyebab kecacatan nomor satu. Awalnya memang  penderitanya 
kebanyakan kaum tua. 
Namun belakangan ini, kita sering  mendengar penderitanya pun datang 
dari kalangan muda. Intinya sih, mau tua  atau masih muda, kalau 
sudah terjadi penyumbatan gumpalan darah yang  menyebabkan pembuluh 
sobek atau terjadinya infeksi vaskuler, ya sok atuhlah,  stroke pun 
datang menghampiri. 
Penyebab stroke antara lain karena  kebiasaan merokok, tekanan darah 
tinggi, dan kegemukan. Satu pemicu utamanya  adalah gaya hidup yang 
tidak sehat, umumnya penderita tidak mengontrol  makanan yang masuk 
ke dalam tubuh. Lama-lama, makanan yang uenak tenan itu  malah 
menjadi biang penyakit. Sret, satu urat tersumbat, stroke pun  
datang. 
Sekarang balik lagi pada kisah Pak Dokter. Semua gaya hidup  sudah 
dijalani. Dia tidak memiliki korek api yang dipakainya untuk  
merokok. Penyakit pun, no way. Dalam soal makanan pun, ia selalu 
memilih  makanan yang baik dan sehat. Olah raga pun ia lakukan dalam 
seminggu, walau  tidak terlalu rutin. 
Lantas apa yang menyebabkan ia terkena stroke?  Secara medis tak 
ditemukan tanda-tanda penyulut penyakit itu. Akhirnya  muncul cerita 
ini. Sang teman menjelaskan sebab musababnya.  
Menurutnya, ayahnya sering kali menyimpan berbagai masalah yang ada  
di dalam hati. Ayahnya sering kali merasa jengkel dan dongkol dalam  
beberapa masalah, termasuk masalah sepele. Atau ia sering kali 
merasa  sakit hati. Hal itu ia simpan sendiri di dalam hati. Tanpa 
disadari,  perlahan-lahan kebiasaan ini berbuah petaka. Rupanya, 
inilah yang  menyebabkan ayahnya mengalami penyempitan pembuluh darah 
di  otak.
Tidak ikhlas? Mungkin itu kata yang paling tepat. Sebuah keadaan  
yang tidak sesuai dengan keinginan kita, memang seringkali 
menyebalkan  dan sangat mengganggu. Kekalahan atau kegagalan, dan 
juga kehilangan,  merupakan hal yang amat sulit untuk diterima. 
Akibatnya, kita pun berada  dalam keadaan yang tidak stabil antara 
menerima dan menolak. 
Nah,  bila menerima, artinya kita ikhlas. Sebaliknya, bila tidak, dia 
akan  bersemayam di dalam hati. Tanpa terasa, dada pun terasa sesak. 
Itulah yang  kita rasakan saat pacar memutuskan hubungan tanpa sebab, 
dus, malah  tahu-tahu menikah dengan orang lain, atau mendapati 
pasangan berselingkuh,  meski semua yang terbaik sudah kita berikan. 
Memang, untuk mengikhlaskan  semua kekalahan, kegagalan atau 
kehilangan, bukanlah pekerjaan mudah. Bila  dunia ini sepenuhnya 
dapat ikhlas dalam segala persoalan, pasti tidak pernah  akan ada 
perang yang memakan ribuan atau jutaan korban jiwa. Bila semua  orang 
ikhlas, tentu tidak pernah ada yang namanya ilmu santet.
Riset  pun menjelaskan bahwa satu kunci menuju hidup bahagia ialah 
menjaga hati  agar selalu terbebas dari rasa kebencian. Dan, 
bersihkan pikiran dari segala  kekawatiran. Jadi, belajarlah untuk 
menerima segala sesuatunya dengan hati  yang lapang. 
Masih sulit? Pergilah ke hutan, berteriaklah di sana.  Keluarkan 
segala kecewa di hati. Takkan ada yang terganggu. Kalau kejauhan,  
masuklah ke kamar mandi. Lalu tutup pintu. Tapi awas, jangan sampai  
tetangga tahu-tahu terbangun kaget dikira ada maling beneran atau 
kucing  garong. Atau pergilah berenang, di dalam air, luapkan tangis. 
Di kubangan  air, takkan pernah ada yang menduga bahwa Anda tengah 
menangis.  
Profesor Jeffrey Lohr, dari William Fulbright College of Arts and  
Sciences, menjelaskan bahwa berteriak memberikan sensasi pengendoran  
otot yang tegang karena kondisi stres. Sedangkan Dr. William Frey, 
dari  University of Minnesota, menemukan bahwa menangis terbukti 
dapat membuat  seseorang merasa lebih baik. Karena air mata yang 
keluar berfungsi  melepaskan ketegangan saraf pada tubuh. Asal tentu 
saja bukan air mata  buaya. Itu kalau Anda kesulitan mengeluarkan 
segala kekecewaan di dalam  hati.
Kembali lagi soal ikhlas. Lalu bagaimanakah agar kita bisa  
sepenuhnya ikhlas? Tanyalah dalam hati. Ikhlas sejatinya kondisi  
perasaan di dalam hati. Karena itu belajar ikhlas juga berarti 
belajar  melihat dengan hati, mendengar dengan hati, dan tentunya, 
mengikuti kata  hati.
Menurut Erbe Sentanu, penulis buku 'Quantum Ikhlas', dalam kondisi  
ikhlas, otak memproduksi hormon serotonin dan endorfin yang 
menyebabkan  seseorang merasa nyaman, tenang, dan bahagia. Dalam zona 
ikhlas,  bertebaranlah berbagai energi positif: rasa syukur, sabar, 
juga termasuk  fokus. Kita pun tiba-tiba merasa penuh tenaga. Energi 
ikhlas ini lalu  menyebar ke setiap bagian tubuh.
Erbe Sentanu sendiri mempunyai kisah  mengenai keikhlasan. Setelah 
enam tahun menikah, Erbe divonis dokter  mengalami aspermatozoa. 
Suatu kondisi seseorang tidak akan dapat memiliki  keturunan. Awalnya 
Erbe terkejut, tetapi ia ikhlas. Dalam penyerahan diri  kepada Tuhan, 
Erbe membayangkan suatu hari nanti ia akan dikaruniai buah  hati. 
Hingga suatu hari ia melakukan uji kualitas sperma. ''Tidak mungkin.  
Dari nol persen spermatozoa menjadi tiga puluh persen dalam tiga 
minggu?  Tidak mungkin!'' seru sang dokter terkaget-kaget ketika 
membaca hasil  laboratorium. Kini Erbe memiliki putra bernama 
Shankara  Premaswara.
Pada akhirnya, ikhlas merupakan kata kunci untuk hidup sehat.  Untuk 
menuju kestabilan hati, manusia memang perlu katup pelepas.  
Berteriak dan menangis merupakan satu jalan keluarnya. Setelah 
letih,  hati dan kepala biasanya akan berkompromi. Mudah-mudahan, 
keikhlasan untuk  melepas kekalahan dan kehilangan, yang akan kita 
peroleh. Agar hati menjadi  netral dan bersih, seperti sebuah 
speedometer, pada akhirnya, ia kembali ke  titik nol. Semoga. (110808)
Sumber: Menuju Titik Nol oleh Sonny Wibisono,  penulis, tinggal di 
Jakarta. Ia dapat dihubungi di 
syok@centrin.net.id